Ada
sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli
2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat
from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda
Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan
karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua
bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat
Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya
konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11
September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada
sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya
merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa.
Sebagai sebuah artikel populer di media
massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam
menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini
publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk
membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional
anti-terorisme – yang kini lebih banyak ditujukan kepada
kelompok-kelompok Islam – ternyata tidak berhasil menahan laju
perkembangan Islam di Eropa.
Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya
dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam,
yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi
Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti
dengan era Perang melawan Islam (tertentu).
Fakta perkembangan Islam di Eropa itu
menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang
menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata
tidak terlalu berhasil.
Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan
Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup
tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi
menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama.
Fenomena itu bisa dipahami, mengingat
dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai
paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus
Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap
tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia
terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme
sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk
mempertahankan hegemoninya.
Sebuah buku berjudul Western State
Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah
penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan
sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris,
menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ
terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru
besar di University of Pensylvania dan Gerry O’Sullivan menulis sebuah
artikel berjudul “Terrorism” as Ideology and Cultural Industry. Mereka
menyebut “terorisme, sebagai “industri multinasional”, dimana terdapat
hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi
pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS,
Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah
“teroris” adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi
Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982.
Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan
pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap
sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu
juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai
teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Salah satu peran penting untuk mendukung
operasi “industri terorisme” dimainkan oleh lembaga-lembaga studi
“quasi pemerintah”, seperti Center for Strategic and International
Studies (CSIS) di Georgetown, AS.
Institusi-institusi semacam ini beserta
para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk
memberikan perspektif tertentu tentang terorisme kepada masyarakat.
Mereka juga merupakan alat penting bagi propaganda pemerintah Barat.
“They are also important vehicles for spesific pieces of government
propaganda,” tulis Herman dan Sullivan.
Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi
dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover
Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage
Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD
(sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di
berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok “sayap kanan”.
Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan
destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS
dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: “The CSIS is a
truly “multinational” member of the terrorism industry.”
Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia?
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai “ekstrimis”, “teroris”, “militan Yahudi”, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai “ekstrimis”, “teroris”, “militan Yahudi”, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.
Sudah jelas berbagai kesalahannya dan
tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak
berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya
dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.
Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai “ekstrimis” atau “militan” Barat?
Pada akhirnya, semua kepalsuan dan
standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka.
Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin
Perry memulai kata pengantar untuk bukunya “Western Civilization: a
Brief History”“Western civilization is a grand but tragic drama.”
Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi
merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai
bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit
sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam
mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga
memproduksi senjata pemusnah massal.
Disamping mempromosikan perlindungan hak
asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang
menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat
berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun
sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal.
Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives
on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir
besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides
(460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius
(551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx
(1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan
Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul “The Dewesternization of
Knowledge”. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan
peradaban Barat terhadap umat manusia.
Al-Attas memandang problem terberat yang
dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat
yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum
pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia
telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.
Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi
tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban
Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of man’s
confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and
destructive to man than today’s challenge posed by Western
Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas,
bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke
seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas,
pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang
benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia,
ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah
benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and
scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah
telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu
dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.
Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran
fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut
dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian.
Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan
manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.
Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan
pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan
karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat
juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara
konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga
akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan,
bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat
aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya
kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: ““Shahadan, maka
sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan
orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya
terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai
bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang
tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.”
Diantara berbagai peradaban yang eksis
saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku
terkenalnya, “Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”,
Huntington menyimpulkan: “Islam is the only civilization which has put
the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice.”
(Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan
keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi
sekurangnya dua kali).
Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah
menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki
Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika
itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi
“momok” yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan
1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi
“The Superpower of the World”.
Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453,
oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga
merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar
Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama
Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang
dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian
merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah
runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap
bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada
1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan
al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel
yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami
perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi
Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk
membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu,
mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib.
Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam.
Memori kolektif sejarah Barat memang
menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam.
Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat
sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler
menulis dua jilid buku berjudul Der Untergang des Abenlandes (The
Decline of the West). Buku populer “The Rise and Fall of the Great
Powers”, ditutup Paul Kennedy dengan bab “The United States: the Problem
of Number One in Relative Decline”.
Sebenarnya merupakan hal yang mudah
dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya,
dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran
terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang
secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi
ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina.
Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk
Islam.
Yang justru sulit dipahami, adalah,
bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan
menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan
Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam
menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet,
seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: “Yang ada hanya satu
peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus
meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya
sekaligus.”
(There is only one civilization, and
that is European civilization. Therefore, we must borrow western
civilizaton with both its rose and its thorn). Banyak yang bermimpi,
bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan
maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak
belur. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar