Dalam
studi yangdipersiapkan untuk seminar di Markaz al-Qahirah Li Dirasat
Huquq al-Insan (Pusat Kajian Hak Asasi Manusia, Kairo), al-Baqir
al-Afif, seorang penulis asal Sudan memberikan pemaparan tentang Hak
Azasi Manusia (HAM) yang sebelumnya disampaikan oleh sejumlah pemikir
muslim Arab. Tanggapan Al-Baqir yang mengkritisi persoalan HAM dari
perspektif agama dan tradisi, dan bukan dari perspektif dunia Barat,
kontan saja menuai reaksi.
Baqir
menyebutkan, dalam perspektif Barat HAM seringkali dilihat hanya
sebagai produk budaya manusia dalam ruang lingkup tertentu, dan bahkan
acapkali disusupi oleh intrik politik. Terutama jika HAM itu terkait
dengan proses pengadilan atas sangkaan pelanggaran HAM oleh seorang atau
sejumlah orang. Sebagai akibatnya, dalam pasang-surut perjalanannya
praktik penegakan HAM mengandung tafsir yang berbeda di berbagai belahan
dunia. Di Eropa, Asia, Amerika, Afrika Selatan, Afrika Utara,
Australia, termasuk di Indonesia, tafsir dan implementasi HAM selalu
tidak sama sekalipun PBB, misalnya, sudah mengeluarkan Declaration of Human Right puluhan tahun lamanya.
Atas
kenyataan itulah al-Baqir melakukan pengkajian secara khusus melalui
riset dan mengumpulkan pandangan-pandangan kreatif dari para pemikir
Islam yang sepaham demi membumikan konsep HAM dalam perspektif Islam ke
kancah global. Bagi al-Baqir, HAM sejati memiliki makna yang sakral dan
mengandung nuansa religiusitas yang kental. Baqir meyakini, bagaimanapun
konsepsi dan implementasi HAM tidak bisa dielakkan dari pandangan
seseorang tentang agama dan keyakinannya. Itu sebabnya hukuman mati
misalnya,walaupun dalam Islam dibolehkan, namun oleh para aktivis pro
Barat seringkali dipahami sebagai upaya “menggerogoti” puritanitas HAM.
Anggapan
bahwa HAM adalah sesuatu yang absolut, mutlak dan “taqdis”,pun telah
membuat hubungan HAM dengan agama (khususnya Islam) seolah-olah
berseberangan dan menjadi masalah. Bahkan masalah tersebut menjadi
semakin rumit jika hubungan HAM dan agama tidak dipahami secara tepat
dan tidak segera diakhiri dengan membangun dialog terbuka antar budaya,
baik budaya HAM di satu sisi dan budaya agama pada sisi lain.
Hal
ini, misalnya, dicontohkan oleh Ahmad Shubhi Manshur, Cendekiawan
Muslim dan Direktur pada Pusat Kajian Ibnu Khaldun, Kairo yang pernah
melontarkan pandangan cukup kontroversial dalam konteks HAM. Dengan
tidak mengedepankan fikih konvensional (al-fiqh at-taqlidy),
Manshur menyebutkan ikatan pernikahan tidak perlu lagi terikat pada
labelisasi agama yang dianut oleh masing-masing mempelai. Suatu
pandangan yang jelas sangat ditentang oleh mayoritas penganut Islam.
Mengacu
pada dua contoh pandang di atas, jelaslah bahwa prinsip-prinsip HAM
tidak bisa ditegakkan dengan mengabaikan konsepsi agama. Apalagi, dalam
banyak kasus, pertentangan HAM dengan agama, terutama Islam, seringkali
menyangkut masalah yang sangat prinsipil. Dan umumnya pertentangan itu
dipicu oleh perseteruan dan lebih-lebih oleh kepentingan politik Barat.
Apalagi, bila dilihat dari sisi historis-sosiologis, terminologi HAM
yang berkembang saat ini lebih banyak merupakan hasil pengembangan
pemikiran politik Barat. Padahal Islam telah mengenal dan mempraktikkan
HAM selama berabad-abad sebelumnya.
Islam
sesungguhnya adalah agama dan sekaligus peradaban yang saling
memperkuat kriteria HAM secara menyeluruh. Dalam Islam prinsip HAM
adalah prinsip kemanusiaan yang tidak terikat ruang dan waktu. Ini
membuktikan bahwa di dalam ajaran Islam prinsip HAM adalah prinsip
kemanusiaan universal dan komprehensif. Hal ini diakui oleh ahli
filsafat Prancis, Roger Geroudy dalam bukunya “Afaq Al-Qur’an al-Hady wa al-‘Isyriin”.
Oleh karena itu, sejatinya tidak ada pertentangan antara Islam dan
Barat tentang HAM sekalipun tafsir HAM di Barat seringkali berkait
dengan ruang lingkup kemanusiaan yang terbatas.
Ironisnya,
di kawasan Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya,wacana seputar
HAM seringkali mengalami kerancuan, distorsi, dan kesalahpahaman.
Utamanya jika dikaitkan dengan bagaimana Islam memandang HAM. Menurut
Baqir hal itu disebabkan beberapa sebab. Di antaranya penyampaian
masalah HAM yang terlalu umum, tidak fokus dan cenderung
sepotong-sepotong. Malah seringkali para pemikir dan penganjur HAM
terjerumus dalam arus subjektifitasnya sendiri, dengan pemaparan yang
bersifat apologetic atau bahkan terpengaruh oleh dinamika politik lokal.
Sejak abad 19
Polemik
kebudayaan antara Islam dengan Barat, termasuk di dalamnya masalah HAM,
sesungguhnya telah berlangsung sejak abad 19. Dalam polemik itu,
terlihat jelas bagaimana ulama dan pemikir Islam berupaya “membebaskan
dan melindungi Islam” dari berbagai “kerancuan pikiran” (syubhat)
yang sengaja dikampanyekan oleh para orientalis. Maka, ketika para
pionir era kebangkitan Islam, khususnya di jazirah Arab, mendapati
realitas bahwa masyarakat di dunia Islam mengalami keterbelakangan
dibandingkan Barat--yang pertama kali menjadi tekad mereka ialah
membebaskan Islam dari tuduhan para orientalis yang menyatakan Islam
sebagai penyebab keterbelakangan itu.
Tidak
berhenti di situ, para pemikir Islam bahkan berusaha membalikkan
argumentasi para orientalis tersebut secara diametral. Dalam pandangan
para pemikir tersebut, penyebab keterbelakangan yang melanda masyarakat
Muslim bukanlah Islam, tapi karena umat Islam sendiri yang telah
meninggalkan nilai dan spirit ajaran Islam. Maka syarat utama untuk
meraih kembali kebangkitan masyarakat Muslim ialah dengan kembali pada
syariat dan ajaran Islam.
Syeikh
Muhammad Abduh mencoba melihat problem ini dari kacamata internal umat
Islam sendiri. Kejumudan umat, katanya, adalah karena kajian fiqh telah tercerabut dari realitas kehidupan manusia hingga pada gilirannya berubah dari catatan pinggir (hasyiyah) menjadi matan. Lalu temanya diperbesar menjadi mabsuth (buku kecil) dan akhirnya dibuat sekedar ulasan singkatnya yang dinamakan mukhtashar
(ringkasan). Kondisi ini terus berputar seperti itu sehingga
menyebabkan nalar pemikiran masyarakat Muslim menjadi tertutup dan
eksklusif.
Begitu
pula dalam hal kebebasan berpikir. Telah terjadi pengekangan terhadap
segala bentuk rasionalitas dan kebebasan berpikir. Dan pengekangan itu
justru mengantarkan umat pada suatu kondisi psikologis yang beranggapan
bahwa keselamatan ataupun kedamaian dirinya hanya akan terwujud dengan
bertaklid, dalam arti mengikuti jalan yang telah ada dan berkembang
sedemikian rupa. Sebaliknya, upaya kreatif inovatif (ijtihad) seringkali malah dituding sebagai bid’ah dan dianggap hanya akan menjerumuskan umat dalam kesesatan serta membuat mereka terpecahbelah.
Atas
kenyataan itulah Syeikh Muhammad Abduh mengajak umat Islam untuk lebih
mengoptimalkan dimensi rasionalitas dalam ranah pemikiran keagamaan,
sebagai bagian penting untuk mensinergikan Islam dengan realitas
kekinian. Ada dua hal mendasar yang menjadi konsekuensi dari ajakan
Muhammad Abduh tersebut; Pertama, membebaskan diri dari budaya
taklid buta; dan Kedua, berupaya semaksimal mungkin untuk secara
langsung melakukan “pembacaan” terhadap teks-teks syariah (Alquran)
secara rasional.
Hanya
dengan membuka pintu ijtihad-lah dunia Islam baru bisa menyeimbangkan
posisinya dalam dialog budaya dengan Barat. Apalagi selama ini dialog
itu tidak berlangsung dalam situasi dan kondisi yang “wajar” dan
seimbang. Dialog Islam dan Barat terjadi justru ketika Barat sudah
berada di puncak hegemoni superioritasnya (dzilli at-tafawwuq).
Hegemoni Barat itu bahkan hampir dapat dirasakan pada setiap lini
kehidupan umat Islamdan sudah barang tentu hegemoni Barat tersebut
membawa pengaruh signifikan pada pembentukan pola pikir masyarakat
Muslim. Kekalahan umat Islam di Palestina khususnya dan umat Islam di
dunia pada umumya dari Israel, membuktikan kesimpulan di atas.
Gambaran
kekalahan itu juga dialami dunia Islam dalam menghadapi polemik terkait
implementasi penegakan HAM. Bahkan polemic seputar HAM tersebut telah
membelah para pemikir dan ulama Islam dalam dua kubu yang saling
bertolakbelakang; yakni yang menerima secara mutlak dan yang menolak
secara mutlak tafsir dan terminologi HAM Barat. Keadaan ini, sekali
lagi, semakin menegaskan bahwa dunia Islam selalu berada pada posisi
sebagaimana dikehendaki Barat. Dengan satu ungkapan sederhana, Barat
terus melemparkan tantangan demi tantangan sementara umat Islam terus
juga tergagap-gagap meresponnya. ***** (S. Satya Dharma : Penulis adalah Sekjen Multiculture Society Dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu) )
0 komentar:
Posting Komentar