Sabtu, 31 Agustus 2013

Skeptis pada Idola Berjilbab


GAMBAR remaja putri berjibab itu kini mudah ditemui di jalan-jalan. Dengan senyum dan pose masih canggung, dia membintangi iklan operator seluler. Ramadhan menjadi titik awal ekspansi pemunculan remaja tadi. Belakangan, nama dia dielu-elukan lagi tatkala hadir di acara yang mengangkat namanya dari sekadar pelajar SMA.

Sebuah berita secara menyolok membuat judul provokatif. Remaja itu mengungguli sebuah band dengan vokalis yang pernah dibui. Entah dengan paramter apa keduanya dibandingkan. Lagi-lagi media, suka-sukanya menilai dan menyandingkan walaupun tanpa kriteria memadai.

Remaja putri itu jauh-jauh hari memang menyedot banyak perhatian publik, khususnya penggemar tayangan hiburan di televisi. Profilnya nan polos bersahaja, dibekali suara unik, hadir dalam momen pas di sebuah ajang pencarian bakat menyanyi. Tahap demi tahap dilaluinya, hingga kehadirannya bersaing dengan kompetitor lain memunculkan fenomena baru. Dukung-mendukung kandidat kontes membelah ranah SARA. Memang, ini hanya terjadi di jagat daring. Fenomena berikutnya, seorang alim bahkan terpanggil untuk ‘menasihati’ karena saking strategisnya potensi si remaja ini.

Remaja itu akhirnya jadi pemenang. Mendadak namanya melambung. Bukan lagi pelajar SMA, tapi artis yang dibayar sekian. Bintang iklan menjadi episode berikutnya. Menariknya, hingga dia menjadi ikon baru, dia berjilbab. Jilbab standar sebenarnya, apalagi ketika dia masuk di industri citra, maka jilbabnya terbilang komoditas. Rancangan seorang desainer kontemporer terkemuka menjadi ciri khas buat si remaja. Sepintas saja bisa dinilai apakah jilbab gaul itu sepadan dengan si remaja. Pas atau tidak, kita dipaksa untuk menerimanya demikian.

Padahal, sebagaimana gambar di iklan operator seluler, remaja itu seperti tercerabut dari otentisitas dirinya. Saya kok merasa dia tetap jadi dirinya ketika dengan pilihan dirinya; bukan didasarkan orang lain dari perwakilan industri hiburan dan iklan. Apa boleh buat, dia dan—terutama—orangtuanya memutuskan untuk menerima, jadilah kewaguan itu terjadi.

Remaja itu sebenarnya sudah sejak awal terprediksikan akan naik. Baik melalui mekanisme kemenangan atau pemenangan. Kalau kemenangan, dia diputuskan sebagai pemenang kontes. Kalau pemenangan, dia ‘dimenangkan’; artinya, ada upaya sengaja untuk memenangkannya. Bukan tanpa alasan menjadikannya pemenang: dia jadi ikon untuk penetrasi pasar Muslim. Si empu acara kontes sudah membuktikan hal ini. Luar biasa ketika ajang babak demi babak menyedot perhatian banyak pemirsa Muslim. Ini pangsa luar biasa.

Untuk skala kecil, saya ambil contoh perilaku istri seorang teman. Setiap jelang tayang acara di televisi, dia meminta suaminya mengisi pulsa. Pulsa inilah yang dipergunakan untuk mendukung si remaja putri agar terus melaju hingga juara. Saya tahu persis, teman saya itu bukan orang berkelebihan. Mungkin kimia pengidolaan telanjur hadir. Perasaan dan fanatisme sekeyakinan hadir. Dan kenyataan ini bukan tanpa bukti lagi. Seorang takmir masjid di sebuah masjid kampus juga penontoh acara yang sama. Padahal, dia bukan penggemar nonton televisi. Selera berubah gara-gara ada idola baru yang dianggap ‘islami’. Memang, dia menonton pas jam tayang si remaja putri tadi; sisanya, dia matikan kanal. Lucunya, modus seleksi semacam ini ditempuh banyak orang Islam yang saya temui dalam dukung-mendukung si remaja berjilbab tadi.

Mencuatnya remaja tadi begitu fenomenal lantaran dia mewakili harapan pemirsa Muslim. Sebenarnya belum tentu karena kualitas suara atau keunikan yang dipuji juri kontes. Kesahajaan dan kesopanan yang dicerminkan dengan jilbab tidak gaullah yang membuat dia mendapatkan simpati. Maklum saja, hari ini kita lebih mudah mencari penghibur yang mau buka-bukaan aurat ketimbang sebaliknya. Jadilah hadirnya si remaja oase di gersangnya budaya sopan santun dalam dunia hiburan kita. Jadi, masuknya isu primordialisme hanya ikutan saja. Katakanlah semacam ekspresi kemarahan akibat budaya mengumbar aurat begitu menderas. Maka, hadirnya remaja unik tadi antitesis yang seketika ingin menjadi penohok kaum bebas-buka-aurat.

Putusan yang simpel itu sayangnya dipahami betul oleh industri pengumpul kapital. Mereka bermain-main menggunakan remaja idola baru tadi untuk menarik pasar Muslim. Hadirnya kampanye sebagian islamis soal konspirasi yahudi di balik pemunculan remaja putri bisa dimengerti adanya. Di luar soal analisisnya yang hitam-putih, kita akan mendapati penolakan di setiap ajang komodifikasi. Jadi, persoalannya bukan soal para islamis itu terlalu kolot. Di luar sana pun ajang kontestasi semacam ini bukannya tanpa cela dari orang bukan-islamis. Komodifikasinya yang bermasalah.

Industri kapitalis mengeruk sebanyak-banyaknya dari kehadira idola baru dengan menjual simbol agama. Saat yang sama, simbol didangkalkan dari nilai esensi. Meskipun berjilbab, jangan harap kesalehan hadir otomatis dengan keberadaan remaja idola baru tersebut. Kesalehan yang ada pun sebatas sumir, alias permukaan namun kadung dianggap sempurna (kaaffah). Di titik ini, resistensi para islamis ada benarnya. Kita merasa lebih baik dengan hadirnya remaja idola nan sopan. Saat yang sama, kita abai bahwa remaja ini kudu dijaga agar artikulasi simbolnya tidak lagi dominan dan dihegemoni kepentingan non-agama. Ringkasnya, komersialisasi simbol agama harus dicabut. Biarkan dia jadi bersahaja sebagaimana saat awal kita mengenalnya.

Pertanyaannya, ketika dia—dan orangtuanya—putuskan seperti itu, tentu ini memunculkan titik balik. Dia akan jadi ‘biasa-biasa’ lagi; tidak lagi sebagai bintang iklan, hadir di televisi jarang, dan seterusnya. Bila ini terjadi—sebagai akibat boikot industri kapital—adakah suara membelanya sebagaimana saat dia tengah jadi idola? Jangan-jangan kita membelanya habis-habisan saat dia di puncak, dan kita lupa itu semua bukan proses natural. Ada perancangan agar dia disuka kita semua, dan muaranya agar kita terbuai dengan hal-hal dangkal, luntur dari kecintaan kita pada esensi beragama.

Semoga saja tidak. []

0 komentar:

Posting Komentar