Sabtu, 31 Agustus 2013

HAM, ISLAM, Dan BARAT

Dalam studi yangdipersiapkan untuk seminar di Markaz al-Qahirah Li Dirasat Huquq al-Insan (Pusat Kajian Hak Asasi Manusia, Kairo), al-Baqir al-Afif, seorang penulis asal Sudan memberikan pemaparan tentang Hak Azasi Manusia (HAM) yang sebelumnya disampaikan oleh sejumlah pemikir muslim Arab. Tanggapan Al-Baqir yang mengkritisi persoalan HAM dari perspektif agama dan tradisi, dan bukan dari perspektif dunia Barat, kontan saja menuai reaksi.
Baqir menyebutkan, dalam perspektif Barat HAM seringkali dilihat hanya sebagai produk budaya manusia dalam ruang lingkup tertentu, dan bahkan acapkali disusupi oleh intrik politik. Terutama jika HAM itu terkait dengan proses pengadilan atas sangkaan pelanggaran HAM oleh seorang atau sejumlah orang. Sebagai akibatnya, dalam pasang-surut perjalanannya praktik penegakan HAM mengandung tafsir yang berbeda di berbagai belahan dunia. Di Eropa, Asia, Amerika, Afrika Selatan, Afrika Utara, Australia, termasuk di Indonesia, tafsir dan implementasi HAM selalu tidak sama sekalipun PBB, misalnya, sudah mengeluarkan Declaration of Human Right puluhan tahun lamanya.
Atas kenyataan itulah al-Baqir melakukan pengkajian secara khusus melalui riset dan mengumpulkan pandangan-pandangan kreatif dari para pemikir Islam yang sepaham demi membumikan konsep HAM dalam perspektif Islam ke kancah global. Bagi al-Baqir, HAM sejati memiliki makna yang sakral dan mengandung nuansa religiusitas yang kental. Baqir meyakini, bagaimanapun konsepsi dan implementasi HAM tidak bisa dielakkan dari pandangan seseorang tentang agama dan keyakinannya. Itu sebabnya hukuman mati misalnya,walaupun dalam Islam dibolehkan, namun oleh para aktivis pro Barat seringkali dipahami sebagai upaya “menggerogoti” puritanitas HAM.
Anggapan bahwa HAM adalah sesuatu yang absolut, mutlak dan “taqdis”,pun telah membuat hubungan HAM dengan agama (khususnya Islam) seolah-olah berseberangan dan menjadi masalah. Bahkan masalah tersebut menjadi semakin rumit jika hubungan HAM dan agama tidak dipahami secara tepat dan tidak segera diakhiri dengan membangun dialog terbuka antar budaya, baik budaya HAM di satu sisi dan budaya agama pada sisi lain.
Hal ini, misalnya, dicontohkan oleh Ahmad Shubhi Manshur, Cendekiawan Muslim dan Direktur pada Pusat Kajian Ibnu Khaldun, Kairo yang pernah melontarkan pandangan cukup kontroversial dalam konteks HAM. Dengan tidak mengedepankan fikih konvensional (al-fiqh at-taqlidy), Manshur menyebutkan ikatan pernikahan tidak perlu lagi terikat pada labelisasi agama yang dianut oleh masing-masing mempelai. Suatu pandangan yang jelas sangat ditentang oleh mayoritas penganut Islam.
Mengacu pada dua contoh pandang di atas, jelaslah bahwa prinsip-prinsip HAM tidak bisa ditegakkan dengan mengabaikan konsepsi agama. Apalagi, dalam banyak kasus, pertentangan HAM dengan agama, terutama Islam, seringkali menyangkut masalah yang sangat prinsipil. Dan umumnya pertentangan itu dipicu oleh perseteruan dan lebih-lebih oleh kepentingan politik Barat. Apalagi, bila dilihat dari sisi historis-sosiologis, terminologi HAM yang berkembang saat ini lebih banyak merupakan hasil pengembangan pemikiran politik Barat. Padahal Islam telah mengenal dan mempraktikkan HAM selama berabad-abad sebelumnya.
Islam sesungguhnya adalah agama dan sekaligus peradaban yang saling memperkuat kriteria HAM secara menyeluruh. Dalam Islam prinsip HAM adalah prinsip kemanusiaan yang tidak terikat ruang dan waktu. Ini membuktikan bahwa di dalam ajaran Islam prinsip HAM adalah prinsip kemanusiaan universal dan komprehensif. Hal ini diakui oleh ahli filsafat Prancis, Roger Geroudy dalam bukunya “Afaq Al-Qur’an al-Hady wa al-‘Isyriin”. Oleh karena itu, sejatinya tidak ada pertentangan antara Islam dan Barat tentang HAM sekalipun tafsir HAM di Barat seringkali berkait dengan ruang lingkup kemanusiaan yang terbatas.
Ironisnya, di kawasan Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya,wacana seputar HAM seringkali mengalami kerancuan, distorsi, dan kesalahpahaman. Utamanya jika dikaitkan dengan bagaimana Islam memandang HAM. Menurut Baqir hal itu disebabkan beberapa sebab. Di antaranya penyampaian masalah  HAM yang terlalu umum, tidak fokus dan cenderung sepotong-sepotong. Malah seringkali para pemikir dan penganjur HAM terjerumus dalam arus subjektifitasnya sendiri, dengan pemaparan yang bersifat apologetic atau bahkan terpengaruh oleh dinamika politik lokal.
Sejak abad 19
Polemik kebudayaan antara Islam dengan Barat, termasuk di dalamnya masalah HAM, sesungguhnya telah berlangsung sejak abad 19. Dalam polemik itu, terlihat jelas bagaimana ulama dan pemikir Islam berupaya “membebaskan dan melindungi Islam” dari berbagai “kerancuan pikiran” (syubhat) yang sengaja dikampanyekan oleh para orientalis. Maka, ketika para pionir era kebangkitan Islam, khususnya di jazirah Arab, mendapati realitas bahwa masyarakat di dunia Islam mengalami keterbelakangan dibandingkan Barat--yang pertama kali menjadi tekad mereka ialah membebaskan Islam dari tuduhan para orientalis yang menyatakan Islam sebagai penyebab keterbelakangan itu.
Tidak berhenti di situ, para pemikir Islam bahkan berusaha membalikkan argumentasi para orientalis tersebut secara diametral. Dalam pandangan para pemikir tersebut, penyebab keterbelakangan yang melanda masyarakat Muslim bukanlah Islam, tapi karena umat Islam sendiri yang telah meninggalkan nilai dan spirit ajaran Islam. Maka syarat utama untuk meraih kembali kebangkitan masyarakat Muslim ialah dengan kembali pada syariat dan ajaran Islam.
Syeikh Muhammad Abduh mencoba melihat problem ini dari kacamata internal umat Islam sendiri. Kejumudan umat, katanya, adalah karena kajian fiqh telah tercerabut dari realitas kehidupan manusia hingga pada gilirannya berubah dari catatan pinggir (hasyiyah) menjadi matan. Lalu temanya diperbesar menjadi mabsuth (buku kecil) dan akhirnya dibuat sekedar ulasan singkatnya yang dinamakan mukhtashar (ringkasan). Kondisi ini terus berputar seperti itu sehingga menyebabkan nalar pemikiran masyarakat Muslim menjadi tertutup dan eksklusif.
Begitu pula dalam hal kebebasan berpikir. Telah terjadi pengekangan terhadap segala bentuk rasionalitas dan kebebasan berpikir. Dan pengekangan itu justru mengantarkan umat pada suatu kondisi psikologis yang beranggapan bahwa keselamatan ataupun kedamaian dirinya hanya akan terwujud dengan bertaklid, dalam arti mengikuti  jalan yang telah ada dan berkembang sedemikian rupa. Sebaliknya, upaya kreatif inovatif (ijtihad) seringkali malah dituding sebagai bid’ah dan dianggap hanya akan menjerumuskan umat dalam kesesatan serta membuat mereka terpecahbelah.
Atas kenyataan itulah Syeikh Muhammad Abduh mengajak umat Islam untuk lebih mengoptimalkan dimensi rasionalitas dalam ranah pemikiran keagamaan, sebagai bagian penting untuk mensinergikan Islam dengan realitas kekinian. Ada dua hal mendasar yang menjadi konsekuensi dari ajakan Muhammad Abduh tersebut; Pertama, membebaskan diri dari budaya taklid buta; dan Kedua, berupaya semaksimal mungkin untuk secara langsung melakukan “pembacaan” terhadap teks-teks syariah (Alquran) secara rasional.
Hanya dengan membuka pintu ijtihad-lah dunia Islam baru bisa menyeimbangkan posisinya dalam dialog budaya dengan Barat. Apalagi selama ini dialog itu tidak berlangsung dalam situasi dan kondisi yang “wajar” dan seimbang. Dialog Islam dan Barat terjadi justru ketika Barat sudah berada di puncak hegemoni superioritasnya (dzilli at-tafawwuq). Hegemoni Barat itu bahkan hampir dapat dirasakan pada setiap lini kehidupan umat Islamdan sudah barang tentu hegemoni Barat tersebut membawa pengaruh signifikan pada pembentukan pola pikir masyarakat Muslim. Kekalahan umat Islam di Palestina khususnya dan umat Islam di dunia pada umumya dari Israel, membuktikan kesimpulan di atas.
Gambaran kekalahan itu juga dialami dunia Islam dalam menghadapi polemik terkait implementasi penegakan HAM. Bahkan polemic seputar HAM tersebut telah membelah para pemikir dan ulama Islam dalam dua kubu yang saling bertolakbelakang; yakni yang menerima secara mutlak dan yang menolak secara mutlak tafsir dan terminologi HAM Barat. Keadaan ini, sekali lagi, semakin menegaskan bahwa dunia Islam selalu berada pada posisi sebagaimana dikehendaki Barat. Dengan satu ungkapan sederhana, Barat terus melemparkan tantangan demi tantangan sementara umat Islam terus juga tergagap-gagap meresponnya. ***** (S. Satya Dharma : Penulis adalah Sekjen Multiculture Society Dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu) )

0 komentar:

Posting Komentar